refered the new site on http://childrenallergyclinic.wordpress.com/
CERMATI GANGGUAN ORGAN TUBUH LAINNYA DAN GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKUNYA
Published on October 28, 2006 By wido25 In Diet
ASMA PADA ANAK
GANGGUAN YANG MENYERTAI DAN FAKTA YANG BELUM TERUNGKAP


Dr Widodo Judarwanto SpA

Dipresentasikan dalam Seminar Cara Efektif Mengatasi Asma.
Minggu , 30 April 2006, Rumah Sakit Bunda Jakarta.

CHILDREN ALLERGY CENTER
Rumah Sakit Bunda Jakarta, Jl Teuku cikditiro 28 Jakarta Pusat
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)

JL Rawasari Selatan 50 Jakarta Pusat.
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 4264126 – 31922005
email : wido25@hotmail.com , http://alergianak.bravehost.com



PENDAHULUAN
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi dan asma terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan pelayanan kesehatan anak Salah satu menifestasi penyakit alergi yang tidak ringan adalah asma. Penyakit asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Alergi dapat menyerang semua organ dan fungsi tubuh tanpa terkecuali. Sehingga penderita asma juga akan mengalami gangguan pada organ tubuh lainnya. Disamping itu banyak dilaporkan permasalahan kesehatan lain yang berkaitan dengan asma tetapi kasusnya belum banyak terungkap. Kasus tersebut tampaknya sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak, tetapi masih perlu penelitian lebih jauh. Dalam tatalaksanan asma anak tidak optimal, baik dalam diagnosis, penanganan dan pencegahannya..
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema, dan asma merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Berdasarkan SO2RS tahun 1999, penyakit-penyakit tersebut menempati urutan pertama penyebab kematian. Asma yang tidak ditangani dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas 30 persen, dibanding 5 persen pada anak non-asma. Asma menyebabkan kehilangan 16 persen hari sekolah pada anak-anak di Asia, 34 persen di Eropa, dan 40 persen di Amerika Serikat. Banyak kasus asma pada anak tidak terdiagnosis dini, karena yang menonjol adalah gejala batuknya, bisa dengan atau tanpa wheezing (mengi).
Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Asma lebih banyak diderita anak laki-laki. Pada usia dewasa lebih banyak pada perempuan. Resiko dan tanda alergi atau asma dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun mungkin sudah dapat terdeteksi. Alergi dan asma dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal. Perbedaan prevalensi asma pada anak di kota biasanya lebih tinggi dibanding di desa. Terlebih pada golongan sosioekonomi rendah dibanding sosioekonomi tinggi. Pola hidup di kota besar meningkatkan risiko terjadinya asma baik prevalensi, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat darurat), maupun mortalitasnya. Lingkungan dalam rumah golongan sosioekonomi rendah mendukung pencetusan asma.
Asma adalah penyakit yang mempunyai banyak faktor penyebab. Yang paling sering karena factor atopi atau alergi. Penyakit ini sangat berkaitan dengan penyakit keturunan. Bila salah satu atau kedua orang tua, kakek atau nenek anak menderita astma bisa diturunkan ke anak. Faktor-faktor penyebab dan pemicu asma antara lain debu rumah dengan tungaunya, bulu binatang, asap rokok, asap obat nyamuk, dan lain-lain. Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, buah-buahan, kacang juga dianggap berpernanan penyebab asma. Polusi lingkungan berupa peningkatan penetrasi ozon, sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksid (NOX), partikel buangan diesel, partikel asal polusi (PM10) dihasilkan oleh industri dan kendaraan bermotor. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misalnya tartazine), pengawet (metabisulfit), dan vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Kondisi lain yang dapat memicu timbulnya asma adalah aktifitas, penyakit infeksi, emosi atau stres.

GEJALA ASMA DAN MANIFESTASI KLINIS LAIN YANG MENYERTAI
Definisi asma adalah batuk dan atau wheezing (mengi) timbul secara episodik, kronik (lebih 14 hari), cenderung malam hari, musiman, adanya factor pencetus seperti aktifitas fisik yang bersifat membaik secara spontan atau dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma pada keluarga dan penyakit lainnya sudah bisa disingkirkan. Asma adalah penyakit pada pipa saluran nafas di paru. Pipa saluran nafas bercabang semakin kecil seperti pohon, menghubungkan rongga hidung & mulut dengan kantung udara. Pipa saluran napas penderita asma sering mengalami gangguan berupa radang kronik dengan lendir/dahak yang berlebihan, pengkerutan saluran napas, penebalan otot pipa saluran napas. Gejala Asma diantaranya adalah batuk, sesak dengan bunyi mengi, sukar bernapas dan rasa berat di dada, lender atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau berdehem. Batuk biasanya berpanjangan di waktu malam hari atau cuaca sejuk, pernafasan berbunyi (wheezing), sesak napas, merasakan dada sempit. Asma pada anak tidak harus sesak atau mengi. Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya asma pada anak. Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa).

Kriteria berat ringannya penyakit astma ditentukan berdasarkan tipe dalam kebutuhan terhadap terapi atau obat-obatan. Kriteria menurut GINA (Global Initiative for Asthma) :

Tabel 1. Kriteria asma pada anak
Gejala/ hari Gejala/malam PEF %
Jarang (Intermittent) Kurang dari 1/ minggu Kurang dari 2/ bulan 80% atau lebih
Ringan (Mild Persistent) Lebih dari 1 kali/minggu tidak tiap hari Lebih dari 2/ bulan 80% atau lebih
Sedang (Moderately Persistent) Setiap hari timbul saat aktifitas Lebih dari 1/ minggu 60% - 80%
Berat (Severe Persistent) Berlanjut dengan aktifitas terbatas Sering Di bawah 60%

Asma adalah salah satu manifestasi gangguan alergi. Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya sesak selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran). Reaksi alergi yang dapat menggganggu beberapa sistem dan organ tubuh anak dapat menyertai penderita asma. Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau asma, pada kulit terjadi eksim, pada hidung terjadi pilek. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak, sehingga dapat mengnggu perilaku.

Tabel 2. Manifestasi alergi lain yang dapat menyertai pada penderita asma :
• Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.
• Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
• Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur.
• Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Sering menggosok mata, hidung atau telinga, kotoran telinga berlebihan.
• Nyeri otot & tulang berulang malam hari.
• Sering kencing, atau bed wetting (bgompol)
• Gangguan saluran cerna : Gastroesofageal refluk, sering muntah, nyeri perut, sariawan, lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, dan bibir kering.
• Sering buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin.
• Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat atau dingin. Sering berkeringat (berlebihan)
• Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip,
• Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihan di kaki dan tangan, keputihan.
• Sering sakit kepala, migrain.

Alergi ternyata berkaitan dengan gangguan sistem susunan saraf pusat dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi fungsional. Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku seorang anak.

Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak, diamati oleh G. Kay, Associate Professor Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine Washington. Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup, menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang.
Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia.

Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Reichenberg K mengadakan pengamatan pada anak penderita asma usia 7-9 tahun, didapatkan gangguan emosi dan gangguan perilaku lainnya. Jill S Halterman, dari the University of Rochester School of Medicine di Rochester, New York, melaporkan penderita asma di usia sekolah lebih sering didapatkan perilaku sosial yang negatif seperti mengganggu, berkelahi atau melukai teman lainnya. Juga didapatkan perilaku pemalu dan mudah cemas.

Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau kimiawi lainnya. Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.
Storfer dkk tahun 2000, melaporkan terdapat kecenderungan terjadi myopia (rabun jauh) 2 kali lebih besar, dalam pengamatan pada 2.720 anak penderita alergi dan asma. Sehingga anak alergi atau asma 2 kali lebih besar untuk memakai kaca mata sejak usia muda.
Reaksi alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan dan perilaku pada anak. Beberapa gangguan perilaku yang pernah dilaporkan pada penderita alergi juga pernah dilaporkan pada penderita asma.

Tabel 2. Gangguan perilaku yang sering dikaitkan dengan penderita alergi dan asma
• GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur berbicara, tertawa, berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun, duduk, gelisah saat memulai tidur, brushing (gigi gemeretak, beradu gigi), tidur ngorok dan mimpi buruk.
• GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
• EMOSI TINGGI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis.
• GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK KAKI DAN MULUT :
Tidak bisa BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang. Terlambat mengayuh sepeda, keterlambatan dan gangguan proses mengunyah makanan.
• IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain

PERMASALAHAN PENDERITA ASMA

Sering kambuh dan berulangnya keluhan asma, sehingga sering orang tua frustasi akhirnya ”shopping” atau berpindah-pindah ke beberapa dokter. Hal ini dilakukan karena sering kali keluhan alergi pada anak tersebut sering kambuh meskipun diberi obat yang paling mahal dan paling baik. Bila penatalaksanaan tidak dilakukan secara baik dan benar maka keluhan alergi atau asma akan berulang dan ada kecenderungan membandel. Berulangnya kekekambuhan tersebut akan menyebabkan meningkatnya pengeluaran biaya kesehatan. Tetapi yang harus lebih diperhatikan adalah meningkatkannya resiko untuk terjadinya efek samping akibat pemberian obat. Tak jarang penderita asma mendapatkan antibiotika dan steroid dalam jangka waktu yang lama. Setelah berganti-ganti dokter biasanya orang tua pasien baru menyadari sepenuhnya kalau anaknya alergi setelah mengalami sendiri kalau keluhannya membaik setelah dilakukan penghindaran makanan tanpa harus minum obat.
Pada anak yang mengalami gejala alergi yang terus menerus tidak terkendali maka sangat mengganggu prestasi sekolah. Prestasi di sekolah terganggu karena seringnya absen di pelajaran sekolah dan yang lebih utama juga disebabkan adanya gangguan belajar, gangguan konsentrasi atau pemusatan perhatian dan gangguan perilaku lainnya. Penderita alergi dan asma dapat mengakibatkan gangguan gizi ganda pada anak. Gizi ganda artinya dapat menimbulkan kegemukan (berat badan lebih) atau bahkan sebaliknya terjadi malnutrisi atau berat badan kurang.
Penderita asma beresiko mengalami terjadi reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang teruitama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telor.
Sering dijumpai bahwa penderita asma pada anak mendapatkan overdiagnosis (diagnosis berlebihan) atau overtreatment (pengobatan berlebihan). Paling sering ditemui adalah penderita asma yang didiagnosis dan diobati sebagai tuberkulosis dan pnemoni (infeksi pariu-paru) hanya berdasarkan foto rontgen dada.
Penderita alergi atau asma sering mengalami gangguan sistem imun yang berfungsi menghancurkan jamur, virus dan bakteri. Pada penderita alergi tampak anak mudah mengalami sakit infeksi saluran napas baik berupa faringitis akut (infeksi tenggorok), tonsilitis (amandel) dan infeksi saluran napas akut lainnya. Sehingga sering didapatkan seorang anak setiap bulan harus berobat ke dokter karena sering sakit panas, batuk, pilek atau infeksi saluran napas dan mudah terkena penyakit infeksi lainnya secara berulang. Biasanya keluhan tersebut terjadi hampir setiap bulan bahkan kadang satu bulan terinfeksi sampai 2 hingga 3 kali. Keluhan tersebut biasanya terjadi paling sering di bawah usia 2 tahun, di atas 2 tahun sudah semakin berkurang akhirnya usia di atas 5- 7 tahun semakin jarang.

PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN ASMAPenanganan alergi dan asma pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi dan asma tersebut. Saat ini terapi yang terbaik yang direkomendasikan adalah kombinasi pengobatan dengan long acting B2 agonis dan kortikosteroid dalam satu bentuk inhalasi. Long acting B2 agonis ini berguna untuk menstimulasi adenil siklase intraseluler, enzim yang berguna untuk mengubah ATP menjadi siklik AMP, peningkatan AMP ini dapat menyebabkan otot polos bronkus berelaksasi dan menghambat pelepasan mediator hipersensitivitas yang bersifat segera, terutama sel mast. Sedangkan kortikosteroid berguna untuk anti inflamasi dengan manghambat aktivasi dari eosinofil dan menghambat pelepasan mediator inflamasi selanjutnya.
Pemakaian terapi hirupan pada penderita asma khususnya pada anak di Indonesia saat ini masih belum banyak digunakan. Di negara maju terapi ini justru lebih banyak digunakan karena lebih efektif, lebih aman dan relatif murah dibandingkan dengan obat minum. Tetapi di Indonesia orang tua sering menolak kalau sudah diberi anjuran terapi hirupan. Dengan pengobatan hirupan tersebut dianggap asma anaknya sudah sangat mengkawatirkan. Tampaknya sosialisasi lebih jauh tentang penggunaan terapi hirupan pada asma ini harus segera dilakukan.
Bila terdapat riwayat keluarga baik saudara kandung, orangtua, kakek, nenek atau saudara dekat lainnya yang alergi atau asma. Atau bila anak sudah terdapat ciri-ciri alergi sejak lahir atau bahkan bila mungkin deteksi sejak kehamilan maka harus dilakukan pencegahan sejak dini. Faktor resiko yang bisa dikenali sejak lahir adalah gangguan sesak saat lahir (transient Tachypnea of the newborn), bayi lahir sangat rendah (prematur) atau bronkopulmunar displasia, Resiko alergi atau asma pada anak dikemudian hari dapat dihindarkan bila kita dapat mendeteksi dan mencegah sejak dini.
Pencegahan alergi terbagi menjadi 3 tahap, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer , bertujuan menghambat sesitisasi imunologi oleh makanan terutama mencegah terbentuknya Imunoglobulin E (IgE). Pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi sensitisasi atau terpapar dengan penyebab alergi. Hal ini dapat dilakukan sejak saat kehamilan.
2. Pencegahan sekunder, bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya penyakit setelah sensitisasi. Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi belum muncul. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat atau uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 hingga 3 tahun.
3. Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi. Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit yang masih dini tetapi belum menunjukkan gejala penyakit alergi yang lebih berat. Saat tindakan yang optimal adalah usia 6 bulan hingga 4 tahun.

Kontak dengan antigen harus dihindari selama periode rentan pada bulan-bulan awal kehidupan, saat limfosit T belum matang dan mukosa usus kecil dapat ditembus oleh protein makanan. Ada beberapa upaya pencegahan yang perlu diperhatikan supaya anak terhindar dari keluhan alergi yang lebih berat dan berkepanjangan :
• Hindari atau minimalkan penyebab alergi sejak dalam kandungan, dalam hal ini oleh ibu. Bila ibu hamil didapatkan gerakan atau tendangan janin yang keras dan berlebihan pada kandungan disertai gerakan denyutan keras (hiccups/cegukan) terutama malam atau pagi hari, maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari penyebab alergi sedini mungkin. Dalam keadaan seperti ini Committes on Nutrition AAP menganjurkan eliminasi diet jenis kacang-kacangan.
• Pemberian makanan padat dini dapat meningkatkan resiko timbulnya alergi. Bayi yang mendapat makanan pada usia 6 bulan mempunyai angka kejadian dermatitis alergi yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mulai mendapat makanan tambahan pada usia 3 bulan.
• Hindari paparan debu di lingkungan seperti pemakaian karpet, korden tebal, kasur kapuk, tumpukan baju atau buku. Hindari pencetus binatang (bulu binatang piaraan kucing dsb, kecoak, tungau pada kasur kapuk).
• Tunda pemberian makanan penyebab alergi, seperti ayam di atas 1 tahun, telor, kacang tanah di atas usia 2 tahun dan ikan laut di atas usia 3 tahun.
• Bila membeli makanan dibiasakan untuk mengetahui komposisi makanan atau membaca label komposisi di produk makanan tersebut.
• Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah resiko alergi pada bayi . Bila bayi minum ASI, ibu juga hindari makanan penyebab alergi. Makanan yang dikonsumsi oleh ibu dapat masuk ke bayi melalui ASI. Terutama kacang-kacangan, dan dipertimbangkan menunda telur, susu sapi dan ikan. Meskipun masih terdapat beberapa penelitian yang bertolak belakang tentang hal ini.
• Committes on Nutrition AAP menganjurkan pemberian suplemen kalsium dan vitamin selama menyusui.
• Bila ASI tidak memungkinkan atau kalau perlu kurang gunakan susu hipoalergenik formula untuk pencegahan terutama usia di bawah 6 bulan.Bila dicurigai alergi terhadap susu sapi bisa menggunakan susu protein hidrolisat. Penggunaan susu soya harus tetap diwaspadai karena 30 – 50% bayi masih mengalami alergi terhadap soya.
• Bila timbul gejala alergi, identifikasi pencetusnya dan hindari.


X. Daftar Pustaka

1. Agertoft L, Pedersen S: Effect of long-term treatment with inhaled budesonide on adult height in children with asthma. N Engl J Med 2000 Oct 12; 343(15): 1064-9.
2. Barnes PJ: Inhaled glucocorticoids: new developments relevant to updating of the asthma management guidelines. Respir Med 1996 Aug; 90(7): 379-84.
3. Castro-Rodriguez JA, Holberg CJ, Wright AL: A clinical index to define risk of asthma in young children with recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med 2000 Oct; 162(4 Pt 1): 1403-6.
4. Colver AF, Nevantaus H, Macdougall CF, Cant AJ. Severe food-allergic reactions in children across the UK and Ireland, 1998-2000. Acta Paediatr. 2005 Jun;94(6):689-95
5. Crain EF, Weiss KB, Fagan MJ: Pediatric asthma care in US emergency departments. Current practice in the context of the National Institutes of Health guidelines. Arch Pediatr Adolesc Med 1995 Aug; 149(8): 893-901.
6. Larsen GL: Asthma in children. N Engl J Med 1992 Jun 4; 326(23): 1540-5.
7. Martinez FD, Wright AL, Taussig LM: Asthma and wheezing in the first six years of life. The Group Health Medical Associates. N Engl J Med 1995 Jan 19; 332(3): 133-8.
8. National Asthma Education and Prevention Program: Expert Panel Report II: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. Bethesda, Md: NHLBI, NIH; 1997: 1-50.
9. National Asthma Education and Prevention Program: National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma Update on Selected Topics. J Allergy Clin Immunol 2002 Nov; 110 (5 Suppl): S141-219.
10. Ellul P, Vassallo M, Montefort S. Association of asthma and allergic rhinitis with celiac disease. Indian J Gastroenterol [serial online] 2005;24:270-271
11. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
12. Judarwanto W. Dietery Intervention as Therapy for behaviour problem in Children with Gastrointestinal Allergy. Presented at World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology Nutrition, Paris, Juli 2004.
13. Judarwanto W. “Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCÚN MÉXICO”, 15-20 Agustus,2004.
14. Judarwanto W.. “Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “8th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India”, 7 – 10 Oktober, 2004.
15. W. F. Baum1, U. Schneyer2, A. M. Lantzsch2, E. Klöditz1. Delay of growth and development in children with bronchial asthma, atopic dermatitis and allergic rhinitis.Exp Clin Endocrinol Diabetes 2002; 110: 53-59.
16. Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual
17. Stores G, Ellis AJ, Wiggs L, Crawford C, Thomson A Sleep and psychological disturbance in nocturnal asthma. Arch Dis Child 1998; 78:413-9.
18. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
19. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
20. Reichenberg K, Broberg AG. Emotional and behavioural problems in Swedish 7- to 9-year olds with asthma. Chron Respir Dis 2004; 1:183-9.
21. Vaughan TR. The role of food in the pathogenesis of migraine headache. Clin Rev Allergy 1994;12:167-180.
22. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
23. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
24. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.


Comments
No one has commented on this article. Be the first!