GANGGUAN TIDUR, GANGGUAN EMOSI, GANGGUAN KONSENTRASI, AGRESIF, AUTIS, HIPERAKTIF
TERAPI DIET UNTUK GANGGUAN PERILAKU ANAK
Dr Widodo Judarwanto SpA
BEHAVIOUR BIOMEDIS CLINIC ( Klinik Biomedis Gangguan Perilaku )
PICKY EATERS CLINIC (Klinik Kesulitan Makan Anak)
JL RAWASARI SELATAN 50 JAKARTA PUSAT
Setelah menghindari makanan tertentu seperti coklat, keju dan makanan sejenisnya perilaku emosi, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi si Udin secara drastis membaik. Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian gangguan perilaku anak terus meningkat tajam dalam beberapa tahun terahkir ini. Gangguan perilaku tersebut seperti gangguan konsentrasi, gangguan belajar, gangguan emosi, gangguan tidur, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi, hiperaktif (ADHD) dan Autisme. Belakangan banyak penelitian mengungkapkan beberapa jenis makanan dengan mekanisme tertentu ternyata sangat mempengaruhi gangguan fungsi otak dan perilaku anak.
Dr Widodo Judarwanto SpA, dari Behaviour Biomedis Clinic atau klinik Biomedis Gangguan Perilaku mengungkapkan telah melakukan penelitian terhadap 95 anak dengan gangguan saluran cerna dan gangguan perilaku. Setelah dilakukan penghindaran makanan tertentu ternyata gangguan saluran cerna dan gangguan perilaku seperti gangguan emosi, perilaku agresif, keterlambatan bicara, gangguan tidur dan beberapa gejala yang ada dalam penderita Autism terdapat perbaikan secara drastis. Penelitian tersebut sempat mendapat penghargaan “Outreach Award” dalam Worls Congress Gastroenterology Hepatology Nutrition, di Paris Perancis.
Berdasarkan penelitian klinis tersebut dan banyak pengalaman klinis di praktek sehari-hari yang ditemui, widodo tergugah untuk mendirikan Klinik Khusus tersebut. Selama ini pendekatan terapi pada penderita gangguan perilaku anak hanya melalui terapi obat-obatan dan terapi okupasi, sementara pendekatan diet kurang banyak diperhatikan.
Widodo menambahkan, reaksi simpang makanan terjadi pada kelainan bawaan atau genetik seperti alergi makanan, penyakit celiac, intoleransi makanan dan sebagainya biasanya bersifat kronis atau berlangsung lama. Gangguan perilaku yang diduga bersifat genetik seperti Autism, ADHD dan gangguan perilaku lainnya juga sangat berkaitan dengan gangguan metabolisme makanan dan pemberian makanan tertentu. Gangguan susunan saraf pusat atau otak tersebut dapat berupa neuroanatomis dan neurofisiologis. Gangguan neuroanatomis karena makanan biasanya sudah tampak sejak bayi. Pada bayi tampak lebih sensitif, sering mudah kaget dengan rangsangan suara atau cahaya, gemetar terutama tangan, kaki dan bibir, bahkan sampai epilepsi atau kejang. Pada anak yang lebih besar tampak sering sakit kepala, vertogo, migrain, nigtagmus (mata juling) atau ticks (mata sering berkedip). Selain gangguan neuroanatomis reaksi simpang makanan dapat mengganggu fungsi neurofisiologis seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan tidur, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi, ADHD hingga memperberat gejala Autisme.
Bagaimana makanan dapat mengganggu susunan saraf pusat ? Widodo menjelaskan bagaminan mekanisme tersebut dapat terjadi masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa teori mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah teori teori gangguan perut dan otak (Gut Brain Axis), pengaruh metabolisme sulfat, gangguan organ sasaran, dan pengaruh reaksi hormonal pada alergi. Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Hipermeabilitas Intestinal atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Kekurangan ensim Dipeptidalpeptidase IV (DPP IV). pada gangguan pencernaan ternyata menghasilkan zat caseo morfin dan glutheo morphin (semacam morfin atau neurotransmiter palsu) yang mengganggu dan merangsang otak. Teori pelepasan opioid (zat semacam opium) ikut berperanan dalam proses di atas. Hal tersebut juga sudah dibuktikan penemuan seorang ahli pada binatang anjing. Setelah dilakukan stimulasi tertentu pada binatang anjing, ternyata didapatkan kadar opioid yang meningkat disertai perubahan perilaku pada binatang tersebut.
GEJALA REAKSI SIMPANG MAKANAN YANG HARUS DIWASPADAI
Widodo mengingatkan bahwa reaksi makanan tersebut tidak terjadi pada semua orang. Harus diwaspadai gangguan saluran cerna sejak dini. Beberapa gejala gangguan saluran cerna tersebut sebenarnya sudah tampak sejak lahir. Sejak usia awal kehidupan tampak bayi sering rewel, kolik/menangis terus menerus tanpa sebab pada malam hari, sering cegukan, sering “berak geden”, kembung, sering gumoh, berak berwarna hitam atau hijau, berak timbul warna darah. Sering mengalami ganguan Luang air besar, bisa sulit Luang air besar (tidak tiap hari) atau sering buang air besar. Lidah berwarna putih (“like moniliasis symtomp”) dan drooling (ngiler). Penderita gangguan reaksi makanan ini sering terjadi pada anak dengan riwayat lahir prematur dan penderita hernia umbilikalis, scrotalis atau inguinalis.
Tampilan klinis gangguan saluran cerna pada anak yang lebih besar juga harus diperhatikan secara cermat, demikian ungkap widodo. Gangguan tersebut adalah gangguan nyeri perut, sering buang air besar (>2 kali/perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, muntah, sulit berak, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut berbau. Nyeri perut, sering diare, kembung, sering mual atau muntah, konstipasi (sulit berak) , kelaparan, haus, saliva (air liur) meningkat, canker sores (sariawan), stinging tongue (lidah terasa pedih), drooling (ngiler), nyeri gigi, burping (sendawa), retasting foods, gejala sakit mag (nyeri perut ulu hati, muntah, mual, “gelegekan”), swallowing difficulty (kesulitan menelan), abdominal rumbling (perut keroncongan), konstipasi (sulit buang air besar), nyeri perut, passing gas (sering buang angin), timbul lendir atau darah dari rektum, anus gatal atau panas. Bila terjadi gangguan saluran cerna sering disertai kesulitan makan atau gangguan motorik kasar oral (sulit mengunyah langsung ditelan).
Reaksi simpang makanan sering disertai dengan gangguan kulit. Pada bayi sering timbul penebalan merah di daerah pipi popok dan telinga, timbul kerak di kulit kepala. Pada anak yang lebih besar tampak sering gatal, dermatitis, urticaria (biduran), bengkak di bibir, lebam biru kehitaman pada kaki (seperti bekas terbentur), bekas hitam seperti digigit nyamuk, timbul kulit keputihan (seperti panu) dan berkeringat berlebihan. Pada penyakit celiac gangguan kulit berupa dermatitis herpetisformis dan kulit teraba kasar atau kering. Penderita celiac biasanya mengalami gagal tumbuh atau badan kecil dan sangat kurus meskipun banyak makan. Pada penderita reaksi simpang makanan genetik yang kronis seperti penyakit celiac biasanya disertai gangguan kekurangan calsium, B12, B6 (piridoksin), vitamin E, Asam Folat, Karnitin, dan biopterin.kes
Gangguan perilaku yang sering dikaitkan dengan Reaksi Simpang Makanan.
• GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
usia < 6 bulan: mata/kepala bayi sering melihat ke atas. Tangan dan kaki bergerak berlebihan, usia > 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}, sering memanjat. Gejala “Tomboy” pada anak perempuan.
• GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi “nungging”, berbicara/tertawa/berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun/duduk, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak (beradu gigi), tidur ngorok
• AGRESIF sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, mencubit, menjambak (spt “gemes”)
• GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
• GANGGUAN EMOSI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis.
• GANGGUAN MOTORIK KASAR:
Tidak bisa BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak dan jatuh, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang. Berjalan terlambat, mendadak jalan pincang sementara. Motorik mulut : sulit mengunyah atau menelan.
• KETERLAMBATAN BICARA
Tidak mengeluarkan kata umur < 15 bulan, hanya 4-5 kata umur 20 bulan, kemampuan bicara hilang dari yang sebelumnya bisa, biasanya > 2 tahun membaik.
• IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain
• Memperberat gejala HIPERAKTIF (ADHD/ADD), AUTISME dan GANGGUAN SPEKTRUM AUTISM lainnya
MAKANAN PENYEBAB REAKSI SIMPANG MAKANAN
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Makanan penyebab alergi yang paling sering adalah ikan laut, telor, susu sapi, buah-buahan dan kacang-kacangan.
Terdapat juga beberapa makanan yang dapat mengganggu otak tetapi tidak melalui reaksi imunologi melainkan karena intoleransi makanan diantaranya adalah salisilat, tartarzine (zat pewarna makanan), nitrat, amine, MSG(monosodium Glutamat), antioksidan, jamur, laktose, benzoote. Makanan yang mengandung salisilat adalah ditemukan dalam buah, saur, kacang, the, kopi, bir, anggur dan obat-obatan seperti aspirherbs, spices, spreads, teh dan kopi, jus, bir, dan minuman anggur dan obat=obatan seperti aspirin. Konsestrasi tinggi terdapat dalam buah kering seperti sultanas. Tartarzine didapatkan pada makanan sosis, Amines sering diproduksi selama fermentasi dan pemecahan protein ditemukan dalam keju, coklat, anggur, bir, tempe, sayur dan buah seperti pisang, alpukat dan tomat. Benzoat ditemukan dalam beberapa buah, sayur, kacang, anggur, kopi dan sebagainya. Glutamat banyak didapatkan pada tomat, keju, mushrooms, saus, ekstrak daging dan jamur. Monosodium Glutamat sering ditemukan pada penyedap makanan : vetsin, kecap, atau makanan lannya..
Zat aditif makanan yang dapat mengganggu saluran cerna dan gangguan otak adalah bahan pengawet, bahan pewarna, bahan pemutih, emulsifier, enzim, bahan penetap, bahan pelapis atau pengkilat, bahan Pengatur pH, bahan pemisah, perubah patiu, ragi makanan, pelarut untuk ekstraksi, bahan pemanis atau pembawa bahan anti pembekuan. Sedangkan makanan yang mengganggu pada penderita celiac adalah berupa gluten atau tepung terigu dan makanan derivatnya.
PENATALAKSANAAN KLINIK BIOMEDIS
Penanganan klinik biomedis Penanganan terbaik pada penderita gangguan reaksi simpang makanan adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Untuk mengetahui jenis reaksi simpang makanan, harus dilakukan anamnesis riwayat keluhan yang cermat, pemeriksaan fisik dan eliminasi provokasi. Disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratotium penunjang untuk membedakan apakah suatu alergi makanan, intoleransi makanan, penyakit celiac atau reaksi makanan lainnya. Pemberian ensim, obat-obatan dan vitamin lainnya dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab reaksi simpang makanan tersebut. Terapi diet tampaknya sangat berperanan dalam mengatasi masalah gangguan pada saluran cerna, sistem susunan saraf pusat dan gangguan perilaku. Terapi diet adalah mengenali secara cermat gejala reaksi simpang makanan dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gangguan pada saluran cerna, sistem susunan saraf pusat dan gangguan perilaku dapat dikurangi.
Penanganan reaksi simpang makanan dengan gangguan perilaku harus dilakukan secara holistik. Selain menghindari makanan penyebab maka diperlukan penanganan multidisiplin ilmu kesehatan anak. Bila perlu harus melibatkan bidang neurologi, psikiater, tumbuh kembang, endokrinologi, alergi, gastroenterologi dan bidang ilmu kesehatan anak lainnya
DAFTAR PUSTAKA
1. Reingardt D, Scgmidt E. Food Allergy.Newyork:Raven Press,1988.
2. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut
3. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156.
4. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14
5. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71
6. Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33
7. D S N A Pengiran Tengah, A J Wills, G K T Holmes. Neurological complications of coeliac disease Postgraduate Medical Journal 2002;78:393-398
8. Wills AJ, Turner B, Lock RJ, et al. Dermatitis herpetiformis and neurological dysfunction. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;72:259–61
9. Luostarinen L, Pirttila T, Collin P. Coeliac disease presenting with neurological disorders. Eur Neurol 1999;42:132–5
10. Hadjivassiliou M, Gibson A, Davies-Jones GA, et al. Does cryptic gluten sensitivity play a part in neurological illness? Lancet 1996;347:369–71
11. Lahat E, Broide E, Leshem M, et al. Prevalence of celiac antibodies in children with neurologic disorders. Pediatr Neurol 2000;22:393–6.
12. Judarwanto W. Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy, dipresentasikan pada “24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCÚN MÉXICO”, 15-20 Agustus,2004.
13. Judarwanto W. Dietery Intervention as a Therapy for Behaviour Problems in Children with Gastrointestinal Allergy. Dipresentasikan pada World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition tanggal 2 – 7 Juli 2004 di Paris Perancis.
14. Judarwanto W. Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy”; dipresentasikan pada “8th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India”, 7 – 10 Oktober, 2004.
15. Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2
16. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
17. Connoly AM et al. Serum autoantibodies to brain in Landau-Kleffner variant, Autism and other neurolic disorders. J Pediatr 1999;134:607-613
18. Vodjani A et al, Antibodies to neuron-specific antigens in children with autism: possible cross- reaction with encephalitogenic proteins from milk, Chlamydia pneumoniae, and Streptococcus group A. J Neuroimmunol 2002, 129:168-177.
19. Lucarelli S, Frediani T, Zingoni AM, Ferruzzi F, Giardini O, Quintieri F, Barbato M, D'Eufemia P, Cardi E. Food allergy and infantile autism. Panminerva Med. 1995 Sep;37(3):137-41.
20. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37.
21. El-Fawal HAN et al, Neuroimmunotoxicology : Humoral assessment of neurotoxicity and autyoimmune mechanisms. Environ Health Perspect 1999;107(supp 5):767-775.
22. Warren RP et al. Immunogenetic studies in Autism and related disorders. Molec Clin Neuropathol 1996;28;77-81.
23. Sing VK et Al. Antibodies to myelin basic protein in children with autistic behaviour. Brain Behav Immunol 1993;7;97-103.
24. Sing VK et al. Circulating autoantibodies to neuronal and glial filament protein in autism. Pediatr Neurol 1997;17:88-90.
25. Egger J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5
26. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177.
27. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.
28. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone.
29. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
30. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.
31. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
32. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
33. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.
34. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child
35. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500.